Apa yang ada di pikiran anda ketika
mendengar kata noise? Biasanya pikiran anda lantas akan menjabarkan
noise sebagai sesuatu yang berisik dan terasa mengganggu. Noise adalah
frekuensi-frekuensi bunyi yang dianggap terlalu tinggi sehingga tidak
nyaman untuk didengarkan telinga manusia biasa. Itulah kenapa seringnya
noise dianggap duri dalam daging oleh mereka yang berkecimpung di dunia
musik. Noise sedapatnya dihindari, direduksi, bahkan kalau memungkinkan
dihilangkan dari musik yang mereka komposisikan karena noise yang
berlebihan akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pendengar musik.
Dalam rangka menghilangkan noise inilah
kemudian muncul standar metode rekaman musik seperti yang ada sekarang,
dengan menggunakan teknologi noise reduction seperti studio rekaman yang
terisolir dari sumber bunyi lain dari luar. Atau penggunaan piranti
lunak penghilang noise ketika terjadi proses mixing sebuah musik. Tidak
dapat dipungkiri lagi kita sepertinya sepakat bahwa musik yang bagus
adalah musik yang bebas noise, dan oleh karenanya noise harus
dihilangkan dari musik.
Namun agaknya ada sedikit orang yang
tidak setuju dengan pernyataan bahwa musik yang bagus adalah musik yang
bebas noise. Mereka meyakini bahwa noise yang sebelumnya dianggap
sebagai frekuensi mengganggu dan liar sebenarnya dapat juga dikatakan
sebagai musik. Segelintir orang itu diantaranya adalah delapan orang
musisi yang pada 10 Februari 2012 lalu menghadirkan keriuhan noise di
lahan parkir sebuah distro di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Dalam acara bertajuk Jogja Noise Bombing
yang diadakan oleh areaxyz.com dan RKLB, delapan orang musisi ini
berupaya menawarkan perspektif baru dalam memahami musik, sesuatu yang
mereka percaya dan menjadi kredo mereka dalam aktivisme di ranah musik
noise. Adalah Sodadosa, DJ MO)))DARA, Bangkai Angsa, Arpappel, To Die,
Jurumeya, Mbak Mona, dan CONTROL-Z yang pada malam itu menyajikan
kebisingan komposisi noise, yang kemudian dimaknai sebagai bentuk musik
oleh beberapa penikmat. Penonton malam itu memang tidak banyak, jumlah
yang hadir dapat dihitung jari. Sementara itu di luar puluhan orang yang
berkerumun mengelilingi panggung kecil, mereka yang berada di seberang
jalan, atau berkendara di jalan depan distro dan memutuskan berhenti
sejenak karena awalnya tertarik dengan keriuhan yang ada, praktis
langsung menutup telinga dan segera beranjak pergi karena merasa
terganggu oleh kebisingan desibel yang menyerang. Ekspresi mereka yang
sekadar lewat atau berada di kawasan Demangan tapi tidak bermaksud
menghadiri konser malam itu hampir sama, mengernyit jengah. Barangkali
berpikir bagaimana mungkin kebisingan bunyi seperti itu dapat dikatakan
sebagai sebuah musik? Hal yang memunculkan pertanyaan juga bagi kita
semua, apakah noise dengan kebisingan bunyinya yang kadang tidak bernada
itu dapat dikatakan sebagai musik?
Dekonstruksi Bunyi
Dekonstruksi adalah sebuah teori yang
dikembangkan oleh filsuf asal Perancis Jacques Derrida. Pada awalnya,
Derrida yang juga merupakan ahli lingustik menggunakan dekonstruksi
untuk membedah makna dalam bahasa. Derrida beranggapan bahasa harusnya
dapat dibedah, direkonstruksi ulang sesuai dengan keinginan orang yang
menggunakan bahasa tersebut. Maka Derrida merumuskan sebuah teori yang
difungsikannya untuk membedah bahasa tersebut. Lahirlah dekonstruksi,
teori perombak yang akhirnya menjadikan Derrida sebagai perumusnya
dihormati banyak pemikir setelahnya.
Pada perkembangannya, Derrida sama
dengan beberapa ilmuwan sosial seperti Jean Claude Levi Strauss yang
dicap sebagai post-strukturalis menyadari bahwa sesungguhnya bahasa
adalah bagian dari fenomena sosial secara luas, maka teori-teori yang
mereka temukan dalam upaya memahami bahasa ternyata dapat juga digunakan
untuk membedah fenomena sosial budaya. Jika Levi Strauss lantas
menggunakan Strukturalisme rekaannya untuk membedah berbagai fenomena
sosial seperti permasalahan kekeluargaan, incest, hingga berbagai
mitologi yang berkembang di masyarakat dunia. Maka Derrida juga
mengimplementasikan teori Dekonstruksinya untuk membedah berbagai
fenomena sosial.
Secara sederhana, dekonstruksi dapatlah
dipahami sebagai sebuah cara baca yang sangat intoleran terhadap
pembekuan dan pembakuan teks. Oleh karena itu, pembacaan dekonstruktif
selalu mengejutkan, bahkan sering kali menjadi subversif. Mengapa? Ia
membongkar-menembus kedalam teks, untuk menampilkan watak arbitrer dan
ambigu-nya yang (senantiasa) terkubur oleh “kepentingan”
penulis-pengucap teks itu.
Noise oleh karenanya adalah
dekonstruktor yang mencoba meruntuhkan kemandegan dalam musik
konvensional. Para pelakon musik noise meyakini bahwa eksperimentasi
mereka adalah semacam pembangkangan terhadap kemapanan musik yang sejak
sekian lama kita yakini dan dengarkan. Dengan konsep dekonstruksi inilah
barangkali kita dapat mentahbiskan noise sebagai bentuk musik, karena
dekonstruksi menolak terikat pada makna dan pakem yang ada sebelumnya,
Dekonstruksi membedah lantas menawarkan makna baru. Sebelumnya musik
boleh saja dikatakan sebagai nada-nada merdu, namun noise tiba-tiba
muncul sebagai dekonstruktor yang menolak konsep itu, lalu menawarkan
makna baru bahwa noise atau suara-suara bising adalah musik, sama
seperti musik pada umumnya.
Dekonstruksi bunyi ini bukannya tanpa
resiko. Makna baru yang ditawarkan dekonstruksi memang rawan mendapat
kecaman karena sering dianggap tidak lazim. Seperti banyak orang di
kawasan Demangan malam itu yang mengernyitkan dahi mendengarkan
kebisingan yang bagi mereka hanya bunyi mengganggu, bukan musik. Para
pemusik noise pasti sudah siap menanggung resiko tersebut, bagi mereka
musik bukan hanya perkara mencari nada yang merdu dan pas, atau
menimbulkan harmoni. Bagi pemusik noise yang lebih penting adalah
eksplorasi atau pencarian kebisingan yang paling bising, mencoba mencari
bunyi yang paling membuat telinga berdenging. Itulah makna musik bagi
mereka.
Mendobrak Tradisi
Secara umum, ada standar tertentu yang
menyatakan sebuah bunyi boleh dikatakan sebagai musik. Bunyi tersebut
harus memiliki unsur nada/melodi, ritme, harmoni, dinamika, tempo, warna
nada/timbre, dan bentuk. Karena itulah bunyi kentut atau alarm jam
weker tidak dapat dikatakan sebagai musik karena bunyi tersebut tidak
memiliki salah satu atau keseluruhan tujuh unsur diatas. Itulah mengapa
musik-musik konvensional yang selama ini kita dengarkan terstruktur dan
bernada indah, sebab musik itu harus patuh pada pakem tujuh unsur musik.
Sementara itu teruntuk musik noise,
seperti yang dihadirkan malam itu di Jogja Noise Bombing, musik yang
ditawarkan memang nyaris tidak bernada dan berstruktur. Beberapa malah
mirip suara berisik distorsi saat radio statis tidak mendapatkan sinyal,
kemresek, berisik. Kalaupun ada nada hadir bukanlah sebagai pokok utama
musik, ia justru sebagai pelengkap untuk memunculkan atmosfer tertentu
sesuai konsep sang musisi. Noise adalah bentuk pendobrakan tradisi,
mendobrak tradisi musik konvensional. Mereka mengacuhkan sama sekali
standarisasi a la tujuh unsur pembentuk musik. Noise menghilangkan
dikotomi merdu-fals yang selama ini menimbulkan keyakinan musik yang
bagus adalah merdu sedangkan fals adalah buruk. Karena noise memang
tidak terikat dengan unsur melodis itu, noise lebih menekankan kepada
eksplorasi berbagai bunyi bising, lalu menggabungkannya dalam sebuah
kesatuan. Kadang noise yang timbul dari berbagai instrumen digiring
menuju ritme tertentu yang membius. Kadang sang musisi menyelipkan
sedikit nada sebagai pemuncul atmosfer.
Seperti CONTROL-Z yang malam itu
membombardir pendengaran penonton dengan bunyi-bunyi bising, hasil
pekerjaan Pandu Hidayat sang komposer yang mengotak-atik piranti-piranti
musiknya dan sebuah Macbook. Namun dalam keriuhan noisenya Pandu
menyelipkan nada melalui tiupan Saxophone dari seorang gadis manis
bernama Annamira Sophia. Jangan diharap nada yang muncul dari saxophone
tersebut akan merdu seperti dalam jazz atau musik klasik. Sebab output
bunyi dari saxophone itu pun harus melalui proses pemberian efek
terlebih dahulu sehingga bunyi yang muncul dari speaker bukanlah
saxophone yang merdu, melainkan nada-nada menyeramkan seperti suara
jeritan anak kecil. Kombinasi dari noise yang dibuat Pandu serta tiupan
saxophone Sophia, ditambah visualisasi berbagai video dan gambar
sadomasokis membuat penampilan CONTROL-Z malam itu sebagai presentasi
estetis dari noise, musik yang mendekonstruksi bunyi dan mendobrak
tradisi musik konvensional.
Pada akhirnya untuk mereka yang cukup
“mengerti” Jogja Noise Bombing di Jum’at malam itu berhasil menimbulkan
ekstase kebisingan. Dan terlalu naif memang jika kita berharap kelak
akan hadir penonton yang lebih banyak dalam konser-konser musik noise,
atau noise yang sebelumnya adalah musik tersegmentasi tiba-tiba mampu
menjadi trend musik yang melaju menjajah ranah mainstream persis Grunge
atau Punk yang awalnya juga adalah musik underdog. Karena kebisingan
bunyi yang ditawarkan noise memang tak dapat ditolerir telinga
kebanyakan awam hingga noise akan tersegmentasi pada pendengar tertentu.
Tapi paling tidak Jogja Noise Bombing dan musik noise patut diapresiasi
sebagai upaya dekonstruksi bunyi dan mendobrak tradisi musik. Agar kita
paham bahwa selain musik konvensional yang kita dengar selama ini, di
luar sana terdapat musik lain yang tidak kalah menarik dan menawarkan
perspektif serta pemahaman baru.
Written by : Aris Setyawan
Article taken from : Jakartabeat.net
No comments:
Post a Comment