Dua puluh menit hampir berlalu, saat penari itu tiba di tengah kolam yang penuh miniatur huruf-huruf serupa. A, I, S, J, H, N … Hup, Yuni duduk berjongkok. Lelah, tapi lega. K di kepalanya lepas. Dan, tepuk tangan belasan penonton yang duduk di sisi tepian kolam lain pun pecah. Meriah.
Inilah penampilan Yuni, seorang penari, yang menjadi pembuka pentas musik Sisir Tanah bertajuk Konservasi Konflik di Rumah Indonesian Visual Art Archive Yogyakarta, Jumat 14 Oktober 2011 malam.
“Kolam” –tempat Yuni pentas dan penonton meriung-- sebenarnya adalah ruang depan rumah yang terletak di tengah perkampungan penduduk Dipowinatan. Ukurannya cukup luas untuk sebuah rumah, dengan bagian tengah menjorok ke dalam mirip kolam. Dua sisi kolam dibentuk berundak dua untuk duduk penonton yang datang. Inilah panggung bagi Sisir Tanah.
Sisir Tanah diawaki dua orang, Bagus Dwi Danto (gitaris sekaligus vokalis) dan Pandu Hidayat (musik elektrik). Seperangkat alat pengatur bunyi digital dari satu unit komputer jinjing yang digunakan Pandu menghasilkan suara-suara elektrik yang kadang memekakkan telinga. Namun dengan cepat pula intonasinya menurun lamban. Semua itu bertumpang tindih dengan suara gitar dan vokal Dwi Danto yang kerap tenggelam tak terdengar.
Tumpang tindih suara itu, kata Dwi Dwanto, memang sengaja diciptakan untuk membawa penikmatnya pada nuansa konflik. “Anda bingung kan mendengarnya?” katanya balik bertanya saat dimintai komentar tentang penampilan musiknya, seusai pementasan.
Seperti suara musik yang ditampilkannya, konflik, menurut dia, selalu muncul dari ketumpangtindihan. Apa pun bentuk konflik itu. Dari konflik dalam pribadi, antarpribadi, hingga masyarakat dan negara sekalipun. “Kita berada di tengah kebingungan itu,” kata dia, menjelaskan.
Ada tujuh lagu yang dibawakan Sisir Tanah, malam itu. Konservasi Konflik, Menggergaji Hutan Ingatan, Pertunjukan Malam Perahu Kertas, Kembalikan Hak-Hak Kami, Apa Yang Kau Cetak Di Atas Dengkulmu, Bakar Petamu dan Pidato Presiden Retak Tertusuk-Tusuk Dusta. Dari judulnya, lagu-lagu yang dibawakan Sisir Tanah tampak begitu puitis. Itu karena lagu-lagu mereka adalah musikalisasi puisi karya Dwi Danto, yang sebelumnya menekuni dunia sastra. Simaklah, misalnya, sepotong lirik Konservasi Konflik yang dibuat pada 2008 silam.
Aku menusuk tumpul tanduk ular
Luka paling merdu dari cakar pari di dekat rumah
Di belahan tiga pantat celana
Cukup-cukuplah menahan jerit tuhan
Merayu karpet di tingkungan ember bocor yang menempel di bibir ceret yang cemberut...Menurut dia, satu puisi itu –yang kini dinyanyikan- bahkan muncul dalam suasana konflik di masyarakat, yakni Kembalikan Hak-hak Kami yang muncul saat terlibat upaya pendampingan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo bersama Taring Padi, beberapa tahun lalu.
Konservasi Konflik –salah satu judul puisinya yang menjadi tema pementasan mereka malam itu--sebenarnya adalah judul album yang bakal mereka luncurkan, November mendatang. Ada beberapa kota di Indonesia yang dijadwalkan akan dikunjungi untuk memperkenalkan musik mereka, di antaranya selain Yogyakarta, ada Solo, Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Sebagai sebuah kelompok, Dwi Danto sendiri sulit menentukan genre yang pas untuk musiknya. Meski secara umum dia kategorikan bercorak folk, ada unsur balada dalam beberapa lagu yang dimainkan. Menggergaji Hutan Ingatan, salah satunya. “Idenya sederhana. Aku punya puisi dan coba diangkat menjadi lagu," kata dia menjelaskan konsep bermusik yang dirintisnya.
Dalam upaya menemukan corak bermusiknya itu, Sisir Tanah membuka tangan untuk bagi sejumlah orang untuk merespons pementasannya malam itu. Selain Yuni Bening yang mementaskan tariannya, saat lagu kedua Menggergaji Hutan Ingatan dibawakan, Andi Alison mengiringinya dengan permainan biola. “Spontan saja merespons, sesuai dengan kondisi lagu dan musiknya,” kata Andi.
Selain keduanya, ada pula penampilan Imam Abdillah dan Bagus Prabowo asal Yogyakarta yang merespons dengan semacam aksi “jungkir balik” di sela-sela pementasan, serta Novie Elisa asal Surabaya dengan karya video yang menjadi latar pentas.
Yuni sendiri sebenarnya tak hanya menampilkan tarian, tapi juga beberapa boneka kecil berbentuk perempuan. Boneka itu tergantung di atas sumur di ujung kolam. Menurutnya, boneka itu untuk menggambarkan konflik personal dan interpersonal yang dialami kaum perempuan. Konflik mereka dia bahasakan dalam simbol K dalam tariannya. “K untuk konflik,” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak itu.
ANANG ZAKARIA
Taken from http://www.tempo.co
Opening Act / Perform on Sisir Tanah's mini concert "Konservasi Konflik" at Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta 2011
No comments:
Post a Comment