Saturday, July 13, 2013

SONO LUMIERE - Pandu Hidayat & Atieq SS Listyowati

BANDUNG, KOMPAS.com - Sono Lumiere, performa musik digital elektronik yang dipadu dengan seni performa (performance art) digelar di Pusat Kebudayaan Perancis IFI (Institut Francais de'Indonesie) Jalan Purnawarman 32, Bandung, Jumat 2 Maret 2012 pukul 19.00.

Manajer Proyek Hilda Winar menjelaskan, program ini menampilkan Atieq SS Listyowati sebagai performance artist dan Pandu Hidayat sebagai sound & video artist, dengan dukungan Angga Bambung Hideung, Agung Jek, Aliansyah, Ade Beton dan Arman Jamparing. Bidang fotografi dikerjakan Firama Latuheru dan desainer kostum Zahra Fatyadevi Chyntiyanputri.

+++
Berangkat dari gagasan avant-garde yang lahir di Paris di tahun 1800an hingga melahirkan genre anti-art berikut tampilan performa Yves Saint Klein dalam karya seni rupanya berupa sapuan tinta biru ke atas kanvas lebar terhampar di atas lantai dengan menggunakan tubuh-tubuh nudis para model sebagai media kuasnya, selain karya fotonya bersama kelompok realisme baru di Paris sebagai respons terhadap kecanggihan teknologi NASA dimana manusia berhasil mencapai bulan.

Kini, gerakan berjuluk performance art (seni performa) ini semakin melahirkan beberapa bentuk dalam upaya mengkritisi peradaban manusia terkini khususnya perkembangan teknologi berikut seretan budayanya.

Performa berjudul: Electric Dress di tahun 1957, karya Atsuko Tanaka (1935-2005) yang mengenakan kimono dibalut dengan serangkaian kumparan dan sulur kabel berikut puluhan lampu menyala warna-warni ke sekujur tubuh serta busana tradisionalnya, dan menyinari ruang Takamatsu City Museum of Art ini pun merupakan respons terhadap perkembangan teknologi bagi peradaban manusia saat itu.

Atsuko adalah salah satu seniwati yang tergabung dalam kelompok Gutai (pionir performance art/ seni performa/action art di Jepang semenjak 1954 oleh Jiro Yoshihara, hasil pengaruh aliran dada dan surealisme di garis avant-garde). Perkembangannya sejalan dengan sejarah kelahiran performance art di Barat [Paris] yang merupakan pengaruh Futurisme hingga masa Fluxus. Paris menjadi sebuah kiblat bagi berbagai pergerakan budaya.

Hingga kini teknologi selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan oleh banyak artis untuk meresponsnya. Ungkapan kritis terhadap penciptaan teknologi lebih ke arah perluasan interpretasi. Interpretasi ini berkembang hingga menyertakan teknologi itu sendiri dalam proses decoding berbingkai.

Cahaya yang bergerak masuk ke dalam data komputer dan digital hingga kemudian keluar dalam bentuk suara baru melalui transformasi teknologi elektronik. Inilah yang akan ditampilkan, karya eksplorasi seniman sound artist [Pandu Hidayat] bersama performance artist [Atieq SS Listyowati].

Tampilan ini membangkitkan kembali semangat performa karya-karya happening para seniman yang turut mematri sejarah gerakan anti-art dunia melalui serangkaian eksperimen elektronik. Karya-karya ini akan menjadi fusi atau pun material decoding yang menarik ketika ditransformasikan baik dari cahaya menjadi suara, atau bahkan sebaliknya. Yang pasti hasilnya adalah sebuah ‘party’, pembebasan diri, perayaan sukacita!

Permainan elektronik itu sendiri sudah sangat menarik karena ia adalah simbol awal pergerakan progresif budaya manusia melalui ruang kimia-fisika. Selalu menyertakan keterpanaan tersendiri, baik melalui terpaan kasat mata hingga ruang-batin.

Keterpanaan ini pula lah yang melahirkan berbagai hal budaya baru yang membawa pro-kontra sisi baik serta sisi buruknya dalam peradaban manusia itu sendiri pada akhirnya.

Proses decoding itu sendiri pun menjadi menarik sebagai konsep. Karena manusia selalu tidak pernah lepas dari upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupannya.

Selain memahami dirinya sendiri, juga upaya memahami peradaban manusia dan lainnya di dunia serta sekitarnya, sekaligus menikmati prosesnya.

Upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupan kita kini berarti upaya mengetahui sejarah diri. Artefak kehidupan sekecil apa pun menjadi penuh arti guna memaknai hidup kita.

Sejarah adalah titian cahaya dalam perjalanan waktu yang siap melantunkan suara keberadaan masa lalu bagi kehidupan masa kini hingga yang akan datang. Ketika dokumentasi menjadi peranan penting sebagai artefak-artefak kehidupan, maka arsip dan temuan manuscript riwayat hal ikhwal di hari ini adalah blue print diri kita yang tengah bernafas dalam kenisbian bagi kehidupan hari esok dan seterusnya.

Tak ada satu pun yang lepas dari potret-potret masa lalu, agar kita bergerak maju melesat bagai cahaya dan suara yang menyinari dan mengisi kesenyapan di tiap relung kalbu kita.
Editor :
Robert Adhi Ksp


Sono Lumiere, performa musik digital elektronik yang dipadu dengan seni performa (performance art) digelar di Pusat Kebudayaan Perancis IFI (Institut Francais de'Indonesie) Jalan Purnawarman 32, Bandung, Jumat 2 Maret 2012 pukul 19.00.
Bidang fotografi dikerjakan Firama Latuheru dan desainer kostum Zahra Fatyadevi Chyntiyanputri.

Kini, gerakan berjuluk performance art (seni performa) ini semakin melahirkan beberapa bentuk dalam upaya mengkritisi peradaban manusia terkini khususnya perkembangan teknologi berikut seretan budayanya. 

Atsuko adalah salah satu seniwati yang tergabung dalam kelompok Gutai (pionir performance art/ seni performa/action art di Jepang semenjak 1954 oleh Jiro Yoshihara, hasil pengaruh aliran dada dan surealisme di garis avant-garde). Perkembangannya sejalan dengan sejarah kelahiran t di Barat [Paris] yang merupakan pengaruh Futurisme hingga masa Fluxus. Paris menjadi sebuah kiblat bagi berbagai pergerakan budaya.

Cahaya yang bergerak masuk ke dalam data komputer dan digital hingga kemudian keluar dalam bentuk suara baru melalui transformasi teknologi elektronik. Inilah yang akan ditampilkan, karya eksplorasi seniman sound artist [Pandu Hidayat] bersama performance artist [Atieq SS Listyowati].

Permainan elektronik itu sendiri sudah sangat menarik karena ia adalah simbol awal pergerakan progresif budaya manusia melalui ruang kimia-fisika. Selalu menyertakan keterpanaan tersendiri, baik melalui terpaan kasat mata hingga ruang-batin.

Proses decoding itu sendiri pun menjadi menarik sebagai konsep. Karena manusia selalu tidak pernah lepas dari upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupannya.

Upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupan kita kini berarti upaya mengetahui sejarah diri. Artefak kehidupan sekecil apa pun menjadi penuh arti guna memaknai hidup kita.

Tak ada satu pun yang lepas dari potret-potret masa lalu, agar kita bergerak maju melesat bagai cahaya dan suara yang menyinari dan mengisi kesenyapan di tiap relung kalbu kita.

- See more at: http://www.indomigran.com/1/news/read/sono-lumiere-di-pusat-kebudayaan-perancis-bandung-malam-ini#sthash.NkWCQJku.dpuf

Re-Post: Sono Lumiere di Malam Sabtu

Jum’at tanggal 2 Maret aku bersama seorang teman menyambangi acara Band Cloth 2012 di Lapangan Gasibu. Ternyata kami merasa sangat blahbloh di acara yang memadukan bazzaar clothing dan performance dari berbagai band-band Indie bandung. Kenapa kami blahbloh? Karena kebanyakan pengunjung adalah remaja-remaja penikmat musik indie dan underground. Sebenarnya saya gak terlalu awam sama musik seperti itu. Tapi entah mengapa saat di acara gigs itu aku merasa sangat tua. Kebanyakan yang datang adalah setingkat pelajar SMP dan SMA. Band indie yang tampil pun saya gak terlalu hapal. Tapi anak-anak muda itu (Berasa emang aku udah tua banget) ikut terlarut melantunkan lagu-lagu dari band indie Foodcourt. Sementara aku gak tau bandnya sama sekali. Haha. Zaman memang udah berubah. Terakhir aku nonton gigs adalah pada saat SMA dan masih sangat ababil. Haha.


Alhasil Aang, teman aku itu harus cabs karena dia harus kerja shift malam. Dan aku pun bertolak ke daerah BIP, berniat menyaksikan acara Performance art bertajuk Sono Lumiere di Pusat Kebudayaan Prancis Bandung. Karena aku pikir (Seperti biasanya) acara di Indonesia jarang ada yang on time. Makanya aku putar-putar di Gramedia seorang diri saja. Iya seorang diri saja seperti biasanya. Tapi ternyata aku ketemu sama Nura. Dan kami pun sama-sama pergi ke lokasi.

Kami pun masuk ke ruang auditorium. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Nura harus pulang karena rumahnya jauh bo. Di Cicaheum. Dia gak ada temen pulang bareng. Alhasil aku pun sendiri lagi. Duduk di barisan terdepan. Seorang diri saja. Haha

Namun aku cukup terhibur dengan Performance Art yang ditampilkan oleh Atieq Listyowati dan musik dari Pandu Hidayat. Meskipun aku sendiri gak mengerti maksud dari Peform itu. Jujur aku bukan performer aku hanya penikmat yang sebetulnya kurang paham. Tapi aku suka dengan gerakan-gerakan yang dibuat dengan tubuh sang performer yang penuh dengan cahaya lampu-lampu kecil yang dililitkan. Dipadukan dengan musik sejenis electro yang mendukung buat performance.
Sebenarnya aku juga ingin lihat perform dari senior-senior aku di kampus. Ada Agung Jek dan Armand Jamparing. Performer yang lain aku gak tahu. Tapi sialnya, aku gak bawa kamera. Terpaksa aku pakai kamera handphone Sony Ericsson aku dengan 2 Megapixelnya. Tapi foto performance dari Agung Jek dan Armand Jamparing ternyata gak ke save di HP. Perasaan mah udah di save tapi, ya maklum HP aku udah diujung tanduk. _mariskachains


video taken by Hilda Winar
Download Audio
Sono Lumiere, performa musik digital elektronik yang dipadu dengan seni performa (performance art) digelar di Pusat Kebudayaan Perancis IFI (Institut Francais de'Indonesie) Jalan Purnawarman 32, Bandung, Jumat 2 Maret 2012 pukul 19.00.
Bidang fotografi dikerjakan Firama Latuheru dan desainer kostum Zahra Fatyadevi Chyntiyanputri.

Kini, gerakan berjuluk performance art (seni performa) ini semakin melahirkan beberapa bentuk dalam upaya mengkritisi peradaban manusia terkini khususnya perkembangan teknologi berikut seretan budayanya. 

Atsuko adalah salah satu seniwati yang tergabung dalam kelompok Gutai (pionir performance art/ seni performa/action art di Jepang semenjak 1954 oleh Jiro Yoshihara, hasil pengaruh aliran dada dan surealisme di garis avant-garde). Perkembangannya sejalan dengan sejarah kelahiran t di Barat [Paris] yang merupakan pengaruh Futurisme hingga masa Fluxus. Paris menjadi sebuah kiblat bagi berbagai pergerakan budaya.

Cahaya yang bergerak masuk ke dalam data komputer dan digital hingga kemudian keluar dalam bentuk suara baru melalui transformasi teknologi elektronik. Inilah yang akan ditampilkan, karya eksplorasi seniman sound artist [Pandu Hidayat] bersama performance artist [Atieq SS Listyowati].

Permainan elektronik itu sendiri sudah sangat menarik karena ia adalah simbol awal pergerakan progresif budaya manusia melalui ruang kimia-fisika. Selalu menyertakan keterpanaan tersendiri, baik melalui terpaan kasat mata hingga ruang-batin.

Proses decoding itu sendiri pun menjadi menarik sebagai konsep. Karena manusia selalu tidak pernah lepas dari upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupannya.

Upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupan kita kini berarti upaya mengetahui sejarah diri. Artefak kehidupan sekecil apa pun menjadi penuh arti guna memaknai hidup kita.

Tak ada satu pun yang lepas dari potret-potret masa lalu, agar kita bergerak maju melesat bagai cahaya dan suara yang menyinari dan mengisi kesenyapan di tiap relung kalbu kita.

- See more at: http://www.indomigran.com/1/news/read/sono-lumiere-di-pusat-kebudayaan-perancis-bandung-malam-ini#sthash.NkWCQJku.dpuf

No comments:

Post a Comment