Pentas
Kolaboratif Wayang Beber
Dani Iswardana Wibowo (visual artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (performance artist) dan Pandu Hidayat (sound artist)
Rabu, 5 Juni
2013
Bentara Budaya
Jakarta
Métro: Wayang Beber Kota
Ketika
berbagai negara di dunia selama beberapa dekade terakhir ini dibanjiri oleh
gelombang pecinta produk komik dan kartun serta animasi lainnya, Indonesia pun
tak ketinggalan turut ambil bagian dalam dunia yang mewabah ini. Orang dewasa
hingga anak-anak
mana pun pasti tak merasa asing sama sekali bila dihadapkan dengan komik serta
karya animasi lainnya. Komik menjadi
sesuatu yang menarik karena merupakan produk dari masyarakat kota. Kehidupan
kota menjadi kehidupan yang sangat nyata bagi mereka untuk menjadikannya
sebagai dunia imajinasi yang tak berbatas dengan beribu bahkan jutaan macam
kemungkinan yang bisa terjadi. Semuanya itu tercover dengan sangat
menarik. Meski pun cerita-cerita yang dihadirkan merupakan perkawinan antara
cara berpikir tradisional dan kekinian, misalnya dengan keberadaan
tokoh-tokohnya yang memiliki kesaktian dan kemampuan yang sangat ajaib yang
diilhami oleh keberadaan para pahlawan dalam cerita-cerita tradisi mana
pun.
Demikian pula halnya ketika
kehadiran wayang beber kota menjadi ulasan terbaru di masa kini. Wayang beber
yang kehadirannya diperkirakan lahir menurut Kitab Centini ketika Jayabaya,
raja Kediri [Mamenang, abad ke-10] di Jawa Timur, menorehkan gambar para
leluhur dan dewa-dewi yang ia lihat dari relief-relief di candi ke atas daun
lontar dan kemudian menggulungnya serta membeberkannya kembali untuk
diperlihatkan di istana, menjadi sebuah acuan baru di masa kini.
Wayang beber tertua masih ditemukan
di kawasan Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan, Jawa Timur. Keberadaan wayang
beber inilah yang menggerakkan Dani Iswardana untuk mempelajarinya lebih
lanjut. Berbagai upaya yang dilakukannya tak hanya mempelajari sejarah dan
tehniknya dari institusi formal di ISI Solo namun juga langsung berguru kepada para
ahlinya dalam menggurat wayang. Kisah terkenal dalam wayang beber adalah kisah
nyata asmara Raden Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati, seorang putra dari
kerajaan Jenggala dengan Galuh Candra Kirana, seorang putri dari kerajaan
Kediri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, yang dikenal dengan Wayang
Panji.
Wayang Beber disempurnakan oleh
Raden Sungging Prabangkara di masa pemerintahan kerajaan Brawijaya terakhir.
Wayang Beber menjadi semakin semarak di jaman kerajaan Majapahit. Kisah para
dewa-dewi dan roh leluhur kemudian pun berganti dari kisah wayang purwa menjadi
kisah cinta legendaris Wayang Panji, hingga menerbitkan bait-bait puisi yang
menjadi tembang “Smaradhana”yang sangat terkenal hingga kini. Kisah ini
pun bahkan memiliki benang merah dengan Serat Centhini mengenai
pemahaman kehidupan dari semiotika: cinta. Dan kini, wayang beber berkembang
dari cerita-cerita fiktif ke bentuk realisme baru yang lebih bercerita tentang
hal-hal aktual dan faktual sebagaimana goresan kuas dan pikiran sang
senimannya.
Karya klasik dari Jawa ini masih
menjadi daya tarik utama bagi para visual artist muda di Indonesia. Tak
hanya lahir di Pacitan dan Bali, perkembangannya kini di beberapa daerah lain
seperti Solo dan kota-kota besar lainnya macam Jakarta mulai merambah ke
wilayah kontemporer hingga post
modernism. Ada banyak hal kekinian yang menjadi pola utama tema pelukisan
wayang beber, yakni: KOTA.
Keberadaan
para senimannya seperti Dani Iswardana di masa kini, maka lingkup kehidupan
kota menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Kehidupan kota dan ‘kekinian’
menjadi hal-hal yang menarik untuk dituangkan melalui goresan tinta dan kuasnya
ke atas wayang beber. Seperti halnya
yang telah dilakukan oleh beberapa kaum muda saat ini dalam komunitas di beberapa
kota.
Dengan berbagai interpretasi yang
tertuang dengan segala perspektif para senimannya, wayang beber pun menjadi
wadah dan wahana dalam ekspresi setiap pemikiran para seniman yang nota bene
mewakili publik dan kehidupan sosial serta kesehariannya sebagai manusia,
individu sekaligus makhluk sosial dan bagian dari kehidupan politik di wilayah
negara masing-masing dengan berbagai perkembangannya di berbagai aspek di setiap jamannya.
“Métro” adalah hasil interpretasi para seniman
yang terdiri dari seniman pembuat wayang
beber Dani Iswardana Wibowo (visual
artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS
Listyowati (performance
artist) dan Pandu Hidayat (sound
artist) terhadap kehidupan kota di masing-masing kota tempat tinggal
kediamannya yakni: Solo, Pacitan,
Jakarta dan Yogyakarta.
Apakah telah terjadi pergeseran
nilai dan pemahaman budaya baru di masing-masing kota tersebut? Setiap kota
memiliki kekhasannya tersendiri, unik serta berkarakter. Semuanya lahir dari
runtutan masuknya info, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai
negara berkembang, banyak hal kemajuan dunia telah menimbulkan ‘culture shock’
yang tidak sejalan dengan belum meratanya sistem pendidikan dan pemerintahan
yang layak bagi hajat hidup warga dan masyarakatnya.
Seperti apakah kota-kota domisili
para seniman tersebut layaknya sebagai sebuah
“Métro”? Bagaimanakah interprestasi mereka terhadap kota
masing-masing? Samakah sudut pandang mereka? Samakah perspektif mereka dengan
warga kota-kota besar
di dunia lainnya?
No comments:
Post a Comment