Oleh : Anastasia Jessica Adinda S.
Hujan rintik tipis
mengiringi perjalanan saya menuju Institut Franḉais Indonesia-Surabaya.
Petang itu saya ingin menonton wayang beber. Apa itu wayang beber? Seperti apa
bentuknya? Saya tidak tahu. Saya hanya ingin menonton, karena menonton
pertunjukan seni yang berkualitas dan gratis di kota metropolitan seperti
Surabaya adalah hal yang langka dan menyegarkan.
***
Wayang
beber Le Métro
Setelah menunggu
sekitar lima belas menit, pentas dimulai. Berbeda dari kebanyakan wayang
tradisional yang diiringi musik gamelan, wayang beber Le Métro ini
dibuka dengan musik teknologi yang serba canggih. Ada semacam DJ (Disc
Jokey) yang mengatur keluarnya bunyi-bunyian itu. Ada suara deru kereta
api, televisi berisik, potongan siaran radio, bunyi-bunyi deru mesin yang
bercampur baur, dan degup jantung yang mengingatkan pada situasi kota yang
hiruk pikuk, tidak karuan. Sesuai dengan namanya: “wayang beber kota”,
ilustrasi musik ini mengantar pada suasana perkotaan. Musik perlahan berhenti,
suara dalang memecah suasana dengan lantunan lagu Jawa. Kira-kira lantunan lagu
Jawa itu isinya menceritakan prolog dari wayang ini yaitu “sebuah cerita di
tanah Jawa”.
Mas Dalang, mungkin
lebih pantas disebut begitu, karena usianya masih muda. Ia berjalan menuju
panggung yang terletak di tengah penonton, di antara dua larik kursi penonton.
Tidak seperti dalang konvensional yang berpakaian lengkap adat Jawa, Dalang
mengenakan kaos, dan kain panjang sebagai bawahannya. Seorang pemuda, yang baru
di akhir pertunjukan saya ketahui bernama Dhani Iswardana Wibowo mengiringi
Dalang berjalan, lalu ikut naik ke panggung pula. Sampai di sini saya masih
belum mengerti apa itu wayang beber. Setelah selesai melantunkan lagu Jawa,
Dhani yang duduk berhadapan dengan Dalang membuka gulungan kain. Kain itu
dibentangkan dengan dua bilah kayu, lalu ditancapkan pada penyangga, yang
membuat kain tersebut terlihat seperti spanduk. Kain itu bergambar wayang
warna-warni, dengan tokoh-tokoh tidak seperti di wayang kulit, tapi masih dalam
bentuk tidak realis.
Dalang mulai
bercerita, dia mengambil bilah (entah kayu entah logam) panjang, lalu menunjuk
pada gambar yang sedang ia ceritakan. Malam itu, ia bercerita tentang sebuah
desa yang gagal panen. Oleh karena gagal panen, banyak penduduk desa yang
kemudian memilih pindah ke kota, karena berpikir di kota akan lebih banyak
menghasilkan uang, tidak terancam gagal panen dan merugi. Bilah panjang yang
dipegang dalang bergeser, ia menunjuk tokoh yang digambarkan dengan perut
buncit, sedang memanggul dua keranjang besar, isinya anak-anak kecil. Sebut
saja tokoh ini si Bapak. Dalang lalu bercerita bahwa filosofi si Bapak adalah
banyak anak banyak rejeki. Lalu disambung dengan guyonan: “kalau banyak
istri..?poligami!”begitu celoteh si Dalang. Si Bapak dan istrinya juga
bermigrasi, sama seperti penduduk desa yang lain.
Kain digulung sedikit
demi sedikit dengan cara memutar dua bilah kayu yang membentangkannya, sehingga
terlihatlah gambar lain. Masih pada cerita yang sama, si Bapak dan istrinya diceritakan
pergi ke Prancis. Di Prancis mereka bertemu Nicholas Smith dan Lady Boy yang
digambarkan dengan bentuk jenaka. Nicholas dan Lady mengajak Si Bapak dan
istrinya ke kebun. Nicholas dan Lady ternyata menanam tanaman organik. Pada
pertemuan inilah, terjadi percakapan yang berharga. Si Bapak jadi menyadari
kalau desa asalnya sangat kaya dan tanahnya subur. Jika rakyatnya sampai
miskin, maka pastilah ada yang salah. Suara si Bapak yang berat menyadari bahwa
kesalahannya adalah karena penduduk sudah tidak lagi berpegang pada nilai cinta
tanah air dan pancasila. Sungguh menyesallah si Bapak, telah meninggalkan tanah
di negerinya yang indah, subur dan kaya, padahal orang-orang di luar negeri
ternyata juga mengolah tanah dan menanam. Di akhir cerita, si Bapak menuturkan
dan membangun semangatnya kembali. Si Bapak bertekad mulai dari berpikir,
bertindak, serta hidup sederhana, ia ingin memperbaiki semuanya.
Bertindak dan
Berpikir Sederhana
Ketika lampu kecil
(disebut bléncong pada pentas wayang kulit) di panggung dalang mulai
meredup, seorang wanita yang memakai jas hujan transparan, berjalan menuju
panggung. Ia menggulung dirinya dengan kain putih yang terbentang di panggung
depan. Kemudian yang lebih menarik lagi, berganti-ganti antara pemain, kru, dan
juga penonton dipersilakan maju ke depan, menyusun pecahan kaca untuk
ditempelkan pada sebuah frame. Cocok dengan kata penutup dalang tadi, bahwa
kita perlu mulai dari berpikir dan bertindak sederhana. Namun, yang terlihat
malam itu, hanya sedikit penonton yang maju untuk melakukan tindakan sederhana,
membantu menyusun pecahan kaca pada frame. Di zaman ini, memang tidak mudah
berpikir dan bertindak sederhana. Ada-ada saja pertimbangan kita: jangan-jangan
kalau maju, nanti dibilang pengen nampil; kalau beda, dibilang aneh;
kalau tidak mengikuti trend, dibilang jadul; kalau tidak ikut
korupsi, dibilang sok suci; kalau berani bicara, dibilang sok aktivis;
dan kalau gelisah pada sosial situasi sosial politik, dibilang galau.
Wah, pokoknya ada saja pertimbangan yang diberikan, yang kemudian membuat tidak
bisa bertindak sederhana.
Seni yang
Menghibur dan Menyadarkan
Pentas wayang beber Le
Métro yang merupakan pentas kolaborasi antara Dani Iswardana Wibowo (visual
artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (perfomance
artist), dan Pandu hidayat (sound artist) ini sungguh menghibur. Walaupun
hampir seluruh narasi dituturkan dalam bahasa Jawa, namun suasana jenaka bisa
terasa. Beberapa kali Mas Dalang berusaha mengajak penonton berinteraksi,
kadang sukses dan kadang tidak. Kegagapan budaya si tokoh ketika berada di
Prancis, atau gambar-gambar wayang kontemporer yang lucu membuat penonton
tertawa. Tertawa sekaligus juga menertawakan diri sendiri yang sering gagap
budaya, kehilangan jati diri karena globalisasi, dan tidak sadar kalau dirinya
sedang digiring menuju keseragaman. Betapa tidak, orang dari daerah mana pun
memakai merk handphone yang sama, baju yang modelnya sama, juga tatanan rambut
yang sama pula. Wayang beber kontemporer ini juga tidak bisa menghindar
dari imbas globalisasi. Bentuk, tokoh, dan isi cerita menyesuaikan
kekinian, berbeda dari wayang beber tradisional. Wayang beber tradisional
bercerita tentang kisah cinta Raden Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati dan
seorang putri dari Kerajaan Kediri bernama Galuh Candra Kirana. Dalam wayang
beber kontemporer tokohnya adalah orang-orang yang kita temui sehari-hari,
mbok-mbok penjual sayur di pasar, atau tukang batu, atau polisi. Isi ceritanya
pun kondisi sosial yang kita alami, kemiskinan, keangkuhan aparat, atau
kekènésan mbok-mbok bakul. Namun, globalisasi yang menyeragamkan tidak berlaku
bagi wayang beber kontemporer. Globalisasi justru membuat kita menemukan
kekhasan jati diri, mengutip ungkapan Dhani Iswardana Wibowo ketika diskusi di
akhir pertunjukan. Kita memang tidak bisa menghindar dari pengaruh globalisasi,
tapi kita bisa mengolah yang berguna tanpa harus kehilangan esensi dari
masing-masing pribadi. Cita-cita Jean Franḉois Lyotard, filsuf Prancis abad 21,
untuk menghadirkan narasi-narasi kecil di luar narasi-narasi besar (grandnarrative)
seperti eropasentris, tampaknya sudah terwujud dalam wayang beber Le Métro
ini. Demikian, wayang ini menghibur dan sekaligus menyadarkan posisi manusia
Indonesia di zaman globalisasi. Tidak hanya menjadi tontonan tapi juga
tuntunan.
Le Métro - live at Institut Français d'Indonésie 2013
Kenalkan Asal Usul Wayang, 4 Pemuda Pentaskan Wayang BeberKontemporer
Oleh Bayu
Murti
Jumat, 22 Nopember 2013 22:48
Jumat, 22 Nopember 2013 22:48
SURABAYA
(WIN) - Untuk
mengenalkan asal usul kesenian wayang dan sebagai bentuk dukungan kepada
kesenian Indonesia, empat seniman berkolaborasi menampilkan pentas kesenian
wayang beber kontemporer yang digelar di auditorium IFI jalan Ratna
Surabaya, malam ini, Jumat (22/11).
Pentas
kolaborasi berjudul “le metro” ini dipentaskan oleh 4 seniman yaitu Dani
Iswardana (visual artist), Tri Ganjarwicaksono (dalang), Atieq Listyawati
(performance artist) dan Pandu Hidayat (sound art & video) yang mementaskan
wayang beber dengan ceita perkawinan cara berfikir tradisional dan kekinian.
Menurut
mereka kesenian wayang dipilih lantaran wayang telah mendarah daging dalam
budaya Indonesia dengan berbagai jenis wayang seperti wayang golek, wayang
kulit, wayang orang dan lain sebagainya.
Wayang beber
sendiri adalah kesenian wayang yang hampir punah padahal wayang beber sendiri
diperkirakan ada sejak jaman abad ke 9 jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri.
Wayang beber sendiri adalah cikal bakal dari wayang kulit.
Meskipun
pertunjukan wayang biasanya dinikmati oeh kalangan orang tua, wayang
beber yang saat ini dipentaskan mayoritas dinikmati kaum muda yang ingin
mengerti dan belajar kesenian wayang, hal ini terbukti banyak muda mudi yang
memadati ruang auditorium tersebut. (ABE) World In News
No comments:
Post a Comment