Sunday, November 24, 2013

WAYANG BEBER KONTEMPORER

WAYANG BEBER KONTEMPORER: TONTONAN YANG TUNTUNAN
Oleh : Anastasia Jessica Adinda S.

Hujan rintik tipis mengiringi perjalanan saya menuju Institut Franḉais Indonesia-Surabaya. Petang itu saya ingin menonton wayang beber. Apa itu wayang beber? Seperti apa bentuknya? Saya tidak tahu. Saya hanya ingin menonton,  karena menonton pertunjukan seni  yang berkualitas dan gratis di kota metropolitan seperti Surabaya adalah hal yang langka dan menyegarkan.

***

Wayang beber Le Métro
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, pentas dimulai. Berbeda dari kebanyakan wayang tradisional yang diiringi musik gamelan, wayang beber Le Métro ini dibuka dengan musik teknologi yang serba canggih. Ada semacam  DJ (Disc Jokey) yang mengatur keluarnya bunyi-bunyian itu. Ada suara deru kereta api, televisi berisik, potongan siaran radio, bunyi-bunyi deru mesin yang bercampur baur, dan degup jantung yang mengingatkan pada situasi kota yang hiruk pikuk, tidak karuan. Sesuai dengan namanya: “wayang beber kota”, ilustrasi musik ini mengantar pada suasana perkotaan. Musik perlahan berhenti, suara dalang memecah suasana dengan lantunan lagu Jawa. Kira-kira lantunan lagu Jawa itu isinya menceritakan prolog dari wayang ini yaitu “sebuah cerita di tanah Jawa”.

Mas Dalang, mungkin lebih pantas disebut begitu, karena usianya masih muda. Ia berjalan menuju panggung yang terletak di tengah penonton, di antara dua larik kursi penonton. Tidak seperti dalang konvensional yang berpakaian lengkap adat Jawa, Dalang mengenakan kaos, dan kain panjang sebagai bawahannya. Seorang pemuda, yang baru di akhir pertunjukan saya ketahui bernama Dhani Iswardana Wibowo mengiringi Dalang berjalan, lalu ikut naik ke panggung pula. Sampai di sini saya masih belum mengerti apa itu wayang beber. Setelah selesai melantunkan lagu Jawa, Dhani yang duduk berhadapan dengan Dalang membuka gulungan kain. Kain itu dibentangkan dengan dua bilah kayu, lalu ditancapkan pada penyangga, yang membuat kain tersebut terlihat seperti spanduk. Kain itu bergambar wayang warna-warni, dengan tokoh-tokoh tidak seperti di wayang kulit, tapi masih dalam bentuk tidak realis.

Dalang mulai bercerita, dia mengambil bilah (entah kayu entah logam) panjang, lalu menunjuk pada gambar yang sedang ia ceritakan. Malam itu, ia bercerita tentang sebuah desa yang gagal panen. Oleh karena gagal panen, banyak penduduk desa yang kemudian memilih pindah ke kota, karena berpikir di kota akan lebih banyak menghasilkan uang, tidak terancam gagal panen dan merugi. Bilah panjang yang dipegang dalang bergeser, ia menunjuk tokoh yang digambarkan dengan perut buncit, sedang memanggul dua keranjang besar, isinya anak-anak kecil. Sebut saja tokoh ini si Bapak. Dalang lalu bercerita bahwa filosofi si Bapak adalah banyak anak banyak rejeki. Lalu disambung dengan guyonan: “kalau banyak istri..?poligami!”begitu celoteh si Dalang. Si Bapak dan istrinya juga bermigrasi, sama seperti penduduk desa yang lain.

Kain digulung sedikit demi sedikit dengan cara memutar dua bilah kayu yang membentangkannya, sehingga terlihatlah gambar lain. Masih pada cerita yang sama, si Bapak dan istrinya diceritakan pergi ke Prancis. Di Prancis mereka bertemu Nicholas Smith dan Lady Boy yang digambarkan dengan bentuk jenaka. Nicholas dan Lady mengajak Si Bapak dan istrinya ke kebun. Nicholas dan Lady ternyata menanam tanaman organik. Pada pertemuan inilah, terjadi percakapan yang berharga. Si Bapak jadi menyadari kalau desa asalnya sangat kaya dan tanahnya subur. Jika rakyatnya sampai miskin, maka pastilah ada yang salah. Suara si Bapak yang berat menyadari bahwa kesalahannya adalah karena penduduk sudah tidak lagi berpegang pada nilai cinta tanah air dan pancasila. Sungguh menyesallah si Bapak, telah meninggalkan tanah di negerinya yang indah, subur dan kaya, padahal orang-orang di luar negeri ternyata juga mengolah tanah dan menanam. Di akhir cerita, si Bapak menuturkan dan membangun semangatnya kembali. Si Bapak bertekad mulai dari berpikir, bertindak, serta hidup sederhana, ia ingin memperbaiki semuanya.

Bertindak dan Berpikir Sederhana

Ketika lampu kecil (disebut bléncong pada pentas wayang kulit) di panggung dalang mulai meredup, seorang wanita yang memakai jas hujan transparan, berjalan menuju panggung. Ia menggulung dirinya dengan kain putih yang terbentang di panggung depan. Kemudian yang lebih menarik lagi, berganti-ganti antara pemain, kru, dan juga penonton dipersilakan maju ke depan, menyusun pecahan kaca untuk ditempelkan pada sebuah frame. Cocok dengan kata penutup dalang tadi, bahwa kita perlu mulai dari berpikir dan bertindak sederhana. Namun, yang terlihat malam itu, hanya sedikit penonton yang maju untuk melakukan tindakan sederhana, membantu menyusun pecahan kaca pada frame. Di zaman ini, memang tidak mudah berpikir dan bertindak sederhana. Ada-ada saja pertimbangan kita: jangan-jangan kalau maju, nanti dibilang pengen nampil; kalau beda, dibilang aneh; kalau tidak mengikuti trend, dibilang jadul; kalau tidak ikut korupsi, dibilang sok suci; kalau berani bicara, dibilang sok aktivis; dan kalau gelisah pada sosial situasi sosial politik, dibilang galau. Wah, pokoknya ada saja pertimbangan yang diberikan, yang kemudian membuat tidak bisa bertindak sederhana.

Seni yang Menghibur dan Menyadarkan

Pentas wayang beber Le Métro yang merupakan pentas kolaborasi antara Dani Iswardana Wibowo (visual artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (perfomance artist), dan Pandu hidayat (sound artist) ini sungguh menghibur. Walaupun hampir seluruh narasi dituturkan dalam bahasa Jawa, namun suasana jenaka bisa terasa. Beberapa kali Mas Dalang berusaha mengajak penonton berinteraksi, kadang sukses dan kadang tidak. Kegagapan budaya si tokoh ketika berada di Prancis, atau gambar-gambar wayang kontemporer yang lucu membuat penonton tertawa. Tertawa sekaligus juga menertawakan diri sendiri yang sering gagap budaya, kehilangan jati diri karena globalisasi, dan tidak sadar kalau dirinya sedang digiring menuju keseragaman. Betapa tidak, orang dari daerah mana pun memakai merk handphone yang sama, baju yang modelnya sama, juga tatanan rambut yang sama pula. Wayang beber kontemporer ini juga tidak bisa menghindar dari  imbas globalisasi. Bentuk, tokoh, dan isi cerita menyesuaikan kekinian, berbeda dari wayang beber tradisional. Wayang beber tradisional bercerita tentang kisah cinta Raden Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati dan seorang putri dari Kerajaan Kediri bernama Galuh Candra Kirana. Dalam wayang beber kontemporer tokohnya adalah orang-orang yang kita temui sehari-hari, mbok-mbok penjual sayur di pasar, atau tukang batu, atau polisi. Isi ceritanya pun kondisi sosial yang kita alami, kemiskinan, keangkuhan aparat, atau kekènésan mbok-mbok bakul. Namun, globalisasi yang menyeragamkan tidak berlaku bagi wayang beber kontemporer. Globalisasi justru membuat kita menemukan kekhasan jati diri, mengutip ungkapan Dhani Iswardana Wibowo ketika diskusi di akhir pertunjukan. Kita memang tidak bisa menghindar dari pengaruh globalisasi, tapi kita bisa mengolah yang berguna tanpa harus kehilangan esensi dari masing-masing pribadi. Cita-cita Jean Franḉois Lyotard, filsuf Prancis abad 21, untuk menghadirkan narasi-narasi kecil di luar narasi-narasi besar (grandnarrative) seperti eropasentris, tampaknya sudah terwujud dalam wayang beber Le Métro ini. Demikian, wayang ini menghibur dan sekaligus menyadarkan posisi manusia Indonesia di zaman globalisasi. Tidak hanya menjadi tontonan tapi juga tuntunan.
Le Métro - live at Institut Français d'Indonésie 2013


Kenalkan Asal Usul Wayang, 4 Pemuda Pentaskan Wayang BeberKontemporer

Oleh Bayu Murti
Jumat, 22 Nopember 2013 22:48
SURABAYA (WIN) - Untuk mengenalkan asal usul kesenian wayang  dan sebagai bentuk dukungan kepada kesenian Indonesia, empat seniman berkolaborasi menampilkan pentas kesenian wayang beber kontemporer yang digelar di auditorium IFI  jalan Ratna Surabaya, malam ini, Jumat (22/11).
Pentas kolaborasi berjudul “le metro” ini dipentaskan oleh 4 seniman yaitu Dani Iswardana (visual artist), Tri Ganjarwicaksono (dalang), Atieq Listyawati (performance artist) dan Pandu Hidayat (sound art & video) yang mementaskan wayang beber dengan ceita perkawinan cara berfikir tradisional dan kekinian.
Menurut mereka kesenian wayang dipilih lantaran wayang telah mendarah daging dalam budaya Indonesia dengan berbagai jenis wayang seperti wayang golek, wayang kulit, wayang orang dan lain sebagainya.
Wayang beber sendiri adalah kesenian wayang yang hampir punah padahal wayang beber sendiri diperkirakan ada sejak jaman abad ke 9 jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri. Wayang beber sendiri adalah cikal bakal dari wayang kulit.
Meskipun pertunjukan wayang  biasanya dinikmati oeh kalangan orang tua, wayang beber yang saat ini dipentaskan mayoritas dinikmati kaum muda yang ingin mengerti dan belajar kesenian wayang, hal ini terbukti banyak muda mudi yang memadati ruang auditorium tersebut. (ABE) World In News

No comments:

Post a Comment