Monday, July 22, 2013

Yang Muda di Bukan Musik Biasa


Yang Muda di Bukan Musik Biasa
Oleh: Zoel Mistortoify, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta.

Ajang Bukan Musik Biasa tak sekadar menampilkan yang aneh-aneh. Penampil dituntut mampu mempertahankan argumentasi atas karyanya.

Harapan I Wayan Sadra tampaknya mulai kesampaian. Forum “Bukan Musik Biasa” (BMB) yang dipeloporinya di Surakarta mulai diminati anak-anak muda. Di situ, komponis-komponis muda memperoleh tempatnya, merasa dihargai. Bahkan dominasi komponis muda kian nyata di BMB yang ke XI ini. Forum yang tidak membatasi ruang kreativitas, jenis musik, cara penyajian, asal kalangan, maupun usia tersebut, barangkali telah memberikan kenyamanan bagi pengunjung untuk menikmati dan berpikir dari berbagai sisi. Apakah ini suatu pertanda bahwa semangat kreatif pada dunia eksperimentasi musik sesungguhnya sudah beralih generasi?
Harus diakui, komponis muda—dengan kemudaan usia dan pengalamannya—umumnya lebih punya tenaga dan semangat untuk melahirkan karya-karya baru. Sementara, komponis tua berpengalaman semakin jarang nongol kiprah karyanya. Meski begitu, melihat geliat kreativitas komponis muda itu, selayaknya sudut apresiasi bukan semata-mata pada urusan kualitas kompositoris sebagai titik berat, melainkan pada kesadaran mereka yang mencoba “berani” melepaskan diri dari hegemoni musik industri yang notabene telah melingkupi bagian utama gaya hidup mereka. Semangat pengembaraan kreatif dalam menemukan kepribadian mereka itulah yang perlu dicermati, diberi penguatan, dan layak mendapatkan apresiasi lebih. Malam Minggu, 28 Maret 2009 lalu, di wisma seni Taman Budaya Jawa Tengah, lima komposer asal Yogyakarta, Pacitan, dan Surakarta menampilkan beberapa karyanya. Mereka saling menunjukkan keragaman dan sekaligus kekhasannya konsep, estetika, proses, maupun performing-nya.

Ragam Ketidakbiasaan Kompositoris
Dhika Maharani, 25 th (Surakarta), sebagai penampil pertama mengawali dengan permainan solo instrumen gu-zheng—alat musik tradisionil China, mirip koto dari Jepang, atau tergolong satu keluarga dengan kecapi Sunda. Atas dasar pertimbangan “hubungan keluarga” pada alat berdawai ini, menggiring ide musikal mereka mengarah pada orientasi garap Cina-Sunda. Melalui penggunaan ghu-zheng, kendang, djembe, siter, dan suling, mereka berupaya memadukan kedua tradisi musik tersebut. Pada momentum tertentu terjadi “peleburan” rasa musikal itu, namun secara mendasar tidak banyak mengubah struktur dan estetika dari kedua tradisi musik tersebut. Disinilah, masa “proses” menentukan kematangan capaian.
Verita Shalavita Koapaha, 22 th (Yogyakarta), menyuguhkan komposisi berjudul Nggandul dan Tinggi Rendah yang sengaja mengeksplorasi fenomena musikal Jawa dengan medium rebab, gitar, dan seperangkat kendang. Senggrengan Rebab berlaras pelog dan akord-akord gitar yang, menurut Verita, lebih maskulin dipertemukan dalam ruang laras yang ganjil. Kemudian berlanjut pada pola-pola tabuhan kendang yang datang membayangi dan berujung pada improvisasi free rhythm dan permainan sinkopasi. Nggandul, sebagai konsep, dalam hal ini berdiri dengan definisinya sendiri—meski sesungguhnya itu merupakan buah interpretasi dari konsep karawitan Jawa. “Hubungan aneh” yang terjadi di antara ketiga instrumen tersebut sayangnya kurang jumbuh (muncul, menyatu) manakala pencapaian teknik menabuh itu sendiri kurang memadai. Meski demikian, penulis menilai bahwa kelompok ini mengudar kebebasan eksplorasi di wilayah harmoni bunyi ala akademisi.
Sementara, Dimas Arnesto, masih dari Yogyakarta, menampilkan hasil kolaborasinya dengan seorang sound engineer-visual art asal Perancis dan seorang penari. Dimensi musik tak lagi homogen, melainkan bersinergi dengan kekuatan visual—tarian, lighting dan layar visual. Substansi yang ingin dicapainya adalah terbentuknya “persenyawaan” yang dihasilkan dari kerja kolaborasi tersebut. Diakuinya bahwa hingga pada pementasannya pun pencapaian masih misterius! Memang demikianlah adanya ketika kolaborasi ditegakkan dalam prinsip saling menghormati, maka tiada unsur yang menonjol atau ditonjolkan. Namun, disadari atau tidak, sisi kompositoris musik Dimas—termasuk permainan sound effect elektrik di dalamnya—terasa menjadi ilustratif (mengiringi) bagi medium lainnya, yaitu tari. Pernyawaan atau tarik-menarik fokuskah yang terjadi?

Cermin Berkarat, karya Pandu Hidayat, juga dari Yogyakarta, dinilai paling memiliki konsep yang jelas, sederhana, dan menarik. Ide gagasannya adalah “cermin”: konsep pantulan atau berkebalikan (inversi). Penjabaran dalam konsep musikalnya berupa permainan ritmik, dari hitungan matematis hingga lepas secara struktural dan bentuk. Ia menyediakan dua motif dasar dan dua motif variasi yang selanjutnya dikembangkan menjadi interpretasi 16 motif kemungkinan yang dibangun dari bunyi ritmis cow bell, piano toy, genggong, gong kecil dan metronom. Karya ini memunculkan pula aspek puzzle (teta-teki) yang menuntut ketangkasan si musisi yang berposisi sebagai pelaksana “pantulan” motif rikmik—yang kadang menjadi semrawut ketika pemantulnya tidak sempurna: analogi dari bagian cermin yang berkarat. Secara instrumentasi, karya ini tidak rumit dan apalagi hanya dimainkan oleh dua orang. Kompleksitas ritmik terjadi ketika ada penggandaan dan inversi motif. Namun sayangnya, detak bunyi metronome kurang menjadi bagian dalam kesatuan pola permainan motif ritmik tadi. Ada kesan, kedua pemain tersebut beberapa kali kehilangan pijakan temponya jika metronom sengaja dijadikan acuan pula.
Johan Perwiranto bersama kelompok “Jagrak”-nya dari Pacitan relatif memiliki keunggulan dalam hal kebaruan medium ekspresi dan kematangan eksplorasi bunyi. Barangkali karena ia relatif lebih senior (lebih berumur dan berpengalaman) dari komponis penampil lainnya. Pada karya pertama, ia menggunakan medium empat mesin ketik ukuran besar, tong dan terbang gede sebagai penampang resonatornya. Sedang pada karya ke duanya, ia menggunakan medium kepingan batu-batu granit yang demikian eksotik dengan aura kepurbaannya. Kematangan atas eksplorasi bunyi tercermin dari keragaman bunyi yang diperoleh dan perhitungan teknik menghasilkan bunyi yang terasa lebih meyakinkan. Namun sayang, pada tataran kompositoris, Johan hampir menenggelamkan citra eksperimentasinya ketika terperangkap dalam penyusunan musik yang menggunakan pola-pola ritme yang relatif umum. Atmosfir yang “original” atas fenomena bunyi—mesin ketik dan batu—hanya muncul pada tiap bagian awal repertoar. Barangkali akan berbeda jika sejak awal Johan juga menempatkan aspek kebaruan kompositorik sebagai hal yang utama, maka sempurnalah karyanya sebagai musik baru.

Perlu Dijelaskan!
Namun demikian, BMB tak membiarkan forumnya melulu menampilkan euforia musik yang eksentrik dan aneh-aneh, kemudian lepas tanpa opini atau diskursus. Seusai pentas, para penampil “diwajibkan” menjelaskan apa yang terjadi atas karyanya. Konsekuensi logis dari menawarkan sesuatu yang baru adalah menjelaskan secara definitif (konsep) terhadap sesuatu yang diinginkan, dibutuhkan, dan dihasilkannya.
Pertanggungjawaban yang bersifat penjelasan itu dibutuhkan oleh penontonnya. Setidaknya, sesi diskusi tersebut selain mendidik komponisnya untuk senantiasa bertanggung jawab “atas perbuatannya” (presentasi karya), juga mendidik penontonnya untuk menjadi arif dalam mengapresiasi karya “musik baru”—yang barangkali telah susah payah diciptakan. Stigma masa lalu bahwa mempertemukan pengkarya dan publiknya dianggap ajang “pembantaian”, menjadi tidak relevan jika kedua belah pihak sama-sama ingin belajar.
Sadra terus berharap, forum ini bisa mempertahankan sifatnya sebagai event community—suatu ajang yang benar-benar dibutuhkan oleh pesertanya. “Ini wilayah yang mahal untuk dapat ditemukan dalam kehidupan sekarang ini,” ujarnya.

http://www.gong.tikar.or.id
Gong_Edisi: 112/X/2009

No comments:

Post a Comment