Yang
Muda di Bukan Musik Biasa
Oleh:
Zoel Mistortoify, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta.
Ajang
Bukan Musik Biasa tak sekadar menampilkan yang aneh-aneh. Penampil dituntut
mampu mempertahankan argumentasi atas karyanya.
Harapan
I Wayan Sadra tampaknya mulai kesampaian. Forum “Bukan Musik Biasa” (BMB) yang
dipeloporinya di Surakarta mulai diminati anak-anak muda. Di situ,
komponis-komponis muda memperoleh tempatnya, merasa dihargai. Bahkan dominasi
komponis muda kian nyata di BMB yang ke XI ini. Forum yang tidak membatasi
ruang kreativitas, jenis musik, cara penyajian, asal kalangan, maupun usia
tersebut, barangkali telah memberikan kenyamanan bagi pengunjung untuk
menikmati dan berpikir dari berbagai sisi. Apakah ini suatu pertanda bahwa
semangat kreatif pada dunia eksperimentasi musik sesungguhnya sudah beralih
generasi?
Harus
diakui, komponis muda—dengan kemudaan usia dan pengalamannya—umumnya lebih
punya tenaga dan semangat untuk melahirkan karya-karya baru. Sementara,
komponis tua berpengalaman semakin jarang nongol kiprah karyanya. Meski begitu,
melihat geliat kreativitas komponis muda itu, selayaknya sudut apresiasi bukan
semata-mata pada urusan kualitas kompositoris sebagai titik berat, melainkan
pada kesadaran mereka yang mencoba “berani” melepaskan diri dari hegemoni musik
industri yang notabene telah melingkupi bagian utama gaya hidup mereka.
Semangat pengembaraan kreatif dalam menemukan kepribadian mereka itulah yang
perlu dicermati, diberi penguatan, dan layak mendapatkan apresiasi lebih. Malam
Minggu, 28 Maret 2009 lalu, di wisma seni Taman Budaya Jawa Tengah, lima
komposer asal Yogyakarta, Pacitan, dan Surakarta menampilkan beberapa karyanya.
Mereka saling menunjukkan keragaman dan sekaligus kekhasannya konsep, estetika,
proses, maupun performing-nya.
Ragam
Ketidakbiasaan Kompositoris
Dhika
Maharani, 25 th (Surakarta), sebagai penampil pertama mengawali dengan
permainan solo instrumen gu-zheng—alat musik tradisionil China, mirip koto dari
Jepang, atau tergolong satu keluarga dengan kecapi Sunda. Atas dasar
pertimbangan “hubungan keluarga” pada alat berdawai ini, menggiring ide musikal
mereka mengarah pada orientasi garap Cina-Sunda. Melalui penggunaan ghu-zheng,
kendang, djembe, siter, dan suling, mereka berupaya memadukan kedua tradisi
musik tersebut. Pada momentum tertentu terjadi “peleburan” rasa musikal itu,
namun secara mendasar tidak banyak mengubah struktur dan estetika dari kedua
tradisi musik tersebut. Disinilah, masa “proses” menentukan kematangan capaian.
Verita
Shalavita Koapaha, 22 th (Yogyakarta), menyuguhkan komposisi berjudul Nggandul
dan Tinggi Rendah yang sengaja mengeksplorasi fenomena musikal Jawa dengan
medium rebab, gitar, dan seperangkat kendang. Senggrengan Rebab berlaras pelog
dan akord-akord gitar yang, menurut Verita, lebih maskulin dipertemukan dalam
ruang laras yang ganjil. Kemudian berlanjut pada pola-pola tabuhan kendang yang
datang membayangi dan berujung pada improvisasi free rhythm dan permainan
sinkopasi. Nggandul, sebagai konsep, dalam hal ini berdiri dengan definisinya
sendiri—meski sesungguhnya itu merupakan buah interpretasi dari konsep
karawitan Jawa. “Hubungan aneh” yang terjadi di antara ketiga instrumen
tersebut sayangnya kurang jumbuh (muncul, menyatu) manakala pencapaian teknik menabuh
itu sendiri kurang memadai. Meski demikian, penulis menilai bahwa kelompok ini
mengudar kebebasan eksplorasi di wilayah harmoni bunyi ala akademisi.
Sementara,
Dimas Arnesto, masih dari Yogyakarta, menampilkan hasil kolaborasinya dengan
seorang sound engineer-visual art asal Perancis dan seorang penari. Dimensi
musik tak lagi homogen, melainkan bersinergi dengan kekuatan visual—tarian,
lighting dan layar visual. Substansi yang ingin dicapainya adalah terbentuknya
“persenyawaan” yang dihasilkan dari kerja kolaborasi tersebut. Diakuinya bahwa
hingga pada pementasannya pun pencapaian masih misterius! Memang demikianlah
adanya ketika kolaborasi ditegakkan dalam prinsip saling menghormati, maka
tiada unsur yang menonjol atau ditonjolkan. Namun, disadari atau tidak, sisi
kompositoris musik Dimas—termasuk permainan sound effect elektrik di
dalamnya—terasa menjadi ilustratif (mengiringi) bagi medium lainnya, yaitu
tari. Pernyawaan atau tarik-menarik fokuskah yang terjadi?
Cermin
Berkarat, karya Pandu Hidayat, juga dari Yogyakarta, dinilai paling memiliki
konsep yang jelas, sederhana, dan menarik. Ide gagasannya adalah “cermin”:
konsep pantulan atau berkebalikan (inversi). Penjabaran dalam konsep musikalnya
berupa permainan ritmik, dari hitungan matematis hingga lepas secara struktural
dan bentuk. Ia menyediakan dua motif dasar dan dua motif variasi yang
selanjutnya dikembangkan menjadi interpretasi 16 motif kemungkinan yang
dibangun dari bunyi ritmis cow bell, piano toy, genggong, gong kecil dan
metronom. Karya ini memunculkan pula aspek puzzle (teta-teki) yang menuntut
ketangkasan si musisi yang berposisi sebagai pelaksana “pantulan” motif
rikmik—yang kadang menjadi semrawut ketika pemantulnya tidak sempurna: analogi
dari bagian cermin yang berkarat. Secara instrumentasi, karya ini tidak rumit
dan apalagi hanya dimainkan oleh dua orang. Kompleksitas ritmik terjadi ketika
ada penggandaan dan inversi motif. Namun sayangnya, detak bunyi metronome
kurang menjadi bagian dalam kesatuan pola permainan motif ritmik tadi. Ada
kesan, kedua pemain tersebut beberapa kali kehilangan pijakan temponya jika
metronom sengaja dijadikan acuan pula.
Johan
Perwiranto bersama kelompok “Jagrak”-nya dari Pacitan relatif memiliki
keunggulan dalam hal kebaruan medium ekspresi dan kematangan eksplorasi bunyi.
Barangkali karena ia relatif lebih senior (lebih berumur dan berpengalaman)
dari komponis penampil lainnya. Pada karya pertama, ia menggunakan medium empat
mesin ketik ukuran besar, tong dan terbang gede sebagai penampang resonatornya.
Sedang pada karya ke duanya, ia menggunakan medium kepingan batu-batu granit
yang demikian eksotik dengan aura kepurbaannya. Kematangan atas eksplorasi
bunyi tercermin dari keragaman bunyi yang diperoleh dan perhitungan teknik
menghasilkan bunyi yang terasa lebih meyakinkan. Namun sayang, pada tataran
kompositoris, Johan hampir menenggelamkan citra eksperimentasinya ketika
terperangkap dalam penyusunan musik yang menggunakan pola-pola ritme yang
relatif umum. Atmosfir yang “original” atas fenomena bunyi—mesin ketik dan
batu—hanya muncul pada tiap bagian awal repertoar. Barangkali akan berbeda jika
sejak awal Johan juga menempatkan aspek kebaruan kompositorik sebagai hal yang
utama, maka sempurnalah karyanya sebagai musik baru.
Perlu
Dijelaskan!
Namun
demikian, BMB tak membiarkan forumnya melulu menampilkan euforia musik yang
eksentrik dan aneh-aneh, kemudian lepas tanpa opini atau diskursus. Seusai
pentas, para penampil “diwajibkan” menjelaskan apa yang terjadi atas karyanya.
Konsekuensi logis dari menawarkan sesuatu yang baru adalah menjelaskan secara
definitif (konsep) terhadap sesuatu yang diinginkan, dibutuhkan, dan
dihasilkannya.
Pertanggungjawaban
yang bersifat penjelasan itu dibutuhkan oleh penontonnya. Setidaknya, sesi
diskusi tersebut selain mendidik komponisnya untuk senantiasa bertanggung jawab
“atas perbuatannya” (presentasi karya), juga mendidik penontonnya untuk menjadi
arif dalam mengapresiasi karya “musik baru”—yang barangkali telah susah payah
diciptakan. Stigma masa lalu bahwa mempertemukan pengkarya dan publiknya
dianggap ajang “pembantaian”, menjadi tidak relevan jika kedua belah pihak
sama-sama ingin belajar.
Sadra
terus berharap, forum ini bisa mempertahankan sifatnya sebagai event
community—suatu ajang yang benar-benar dibutuhkan oleh pesertanya. “Ini wilayah
yang mahal untuk dapat ditemukan dalam kehidupan sekarang ini,” ujarnya.
http://www.gong.tikar.or.id
Gong_Edisi:
112/X/2009
No comments:
Post a Comment